1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 | Rendah Hati (Tawadhu'), Sifat Kitakah? Sebagai umat Islam, tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan kata “takwa”. Menurut definisinya, takwa adalah imtitsâlu awâmirillâh wajtinâbu nawâhîhi (melaksanakan semua perintah Allah sekuat-kuatnya dan menjauhi apa pun larangan-Nya). Sebagaimana diajarkan oleh para ulama, takwa dalam bahasa Arab terdiri dari empat huruf, yaitu : * ت (tawâdhu‘) artinya rendah hati. Selain tawâdhu‘ bisa juga bermakna tadharru‘ yang berarti sama yaitu merendahkan diri di hadapan Allah dan sopan santun terhadap sesama. * ق (qanâ‘ah) artinya menerima dengan syukur semua karunia Allah * و (wara‘) artinya meninggalkan perkara syubhat dan tidak berfaedah * ي (yaqîn) artinya yakin sepenuh hati kepada Allah Di kitab “Ta‘lîm al-Muta‘allim” terdapat syair tentang kerendahan hati yang berbunyi : إِنَّ التَّوَاضُعَ مِنْ خِصَالِ الْمُتَّقِي * وَبِهِ التَّقِيُّ إِلىَ الْمَعَـالِي يَرْتَقِي Sesungguhnya rendah hati adalah salah satu ciri orang yang bertakwa Dengannya, orang yang bertakwa mencapai derajat kemuliaan Nabi Muhammad saw. juga telah memerintahkan kita untuk selalu bersikap rendah hati. Dalam sebuah hadits beliau bersabda : إِنَّ اللهَ أَوْحَى ِإلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغَى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ Sesungguhnya Allah SWT telah mewahyukan kepadaku agar kalian bertawadhu‘, sehingga tak seorang pun menyombongkan diri kepada yang lain, atau seseorang tiada menganiaya kepada yang lainnya. (HR Muslim) Di hadits lain, Rasulullah saw. mengingatkan akan jaminan bahwa orang yang rendah hati akan diangkat derajatnya oleh Allah. مَازَادَ اللهُ عَبْـدًا ِبعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ Allah tidak menambahkan kepada seorang hamba yang pemaaf kecuali kemuliaan, dan tidaklah seorang hamba bersikap tawadhu‘ kecuali Allah pasti mengangkat (derajatnya). (HR Muslim) مَنْ تَوَاضَعَ ِللهِ رَفَعَهُ اللهُ وَمَنْ تَكَبَّرَ وَضَعَهُ اللهُ Siapa rendah hati karena Allah, maka Allah mengangkat (derajat)-nya; dan siapa sombong, maka Allah menyia-nyiakannya. (HR Abu Nu‘aim) الْكَرَمُ التَّقْوَى، وَالشَّرَفُ التَّوَاضُعُ، وَالْيَقِيْنُ الْغِنَى Kedermawanan adalah ketakwaan, kemuliaan adalah tawadhu‘ dan keyakinan adalah kekayaan. (HR Ibnu Abi Dunya dan Hakim) Ketika ditanya mengenai arti tawadhu‘ (rendah hati), al-Fudhail menjawab, “Kamu tunduk kepada kebenaran dan patuh kepadanya. Walaupun engkau mendengarnya dari anak kecil, engkau tetap menerimanya. Bahkan, meskipun engkau mendengarnya dari orang terbodoh, engkau tetap menerimanya.” Rendah hati adalah syarat pertama jika kita ingin mencapai derajat sebagai insan yang bertakwa. Rendah hati merupakan puncak dari akhlak seorang mukmin, yaitu rendah hati kepada Allah, Sang Pemilik kehidupan. Rendah hati tidak mungkin diraih hanya dengan ilmu, harus diiringi dengan amal perbuatan. Rendah hati dari segi ilmu memang mudah dipelajari, namun dalam implementasinya membutuhkan waktu yang tidak singkat, bisa bertahun-tahun. Rendah hati bertahap belajarnya. Seiring perjalanan usia, ilmu dan pengalaman seharusnya semakin rendah hati. Rendah hati dapat diteladani dari diri Rasulullah saw., karena beliaulah orang paling bertakwa di seluruh alam semesta. Bahkan, malaikat pun hormat kepada beliau karena derajat beliau yang begitu mulia di sisi Allah SWT. Nabi Muhammad saw. dipuji oleh Allah sebagai makhluk dengan akhlak sangat terpuji dan mendapat anugerah sebagai kekasih Allah (habîbullâh). Di sebuah puisi, ‘Aidh al-Qarni mengungkapkan sanjungannya kepada Rasulullah saw. : Siapa yang menghampiri pintu rumahmu, tak berhenti raga bertutur tentang anugerah yang kau berikan Mata bercerita tentang suka cita, tangan tentang persaudaraan, hati tentang kelembutan, telinga tentang kebajikan Demi Tuhan, kata-katamu mengalir bagai madu Ataukah engkau benar-benar telah menuangkan madu pada mulut kami Ataukah untaian makna yang kau ungkapkan Aku melihat permata dan batu zamrud tersampaikan Jika dirasakan oleh yang sekarat, akan tertahan ruhnya Dan jika dipandang oleh yang di rantau, akan terobati kerinduannya Para ulama menjelaskan bahwa rendah hati harus dimiliki dalam setiap kondisi dan tingkat atau kedudukan. Ketika kita masih belum menjadi apa-apa (tahap belajar), kita ibarat sebuah biji tanaman. Tanamlah biji itu di dalam tanah. Apabila diletakkan di atas tanah, dikuatirkan mudah dimakan binatang atau hilang disapu angin. Saat kita berusaha mencapai puncak, hal ini laksana mendaki gunung. Agar lebih mudah mendakinya, maka badan kita harus condong ke depan dan pandangan mata ke arah bawah. Pernahkah kita melihat seorang pendaki gunung berjalan sambil menegakkan badan, mendongakkan kepala dan membusungkan dada? Semakin curam jalan yang kita daki, kita pun semakin merunduk, bahkan merayap. Bukankah pada dasarnya panjat tebing dilakukan dengan merayap? Tatkala sudah di puncak, rendah hati tetap harus menghiasi diri. Angin pasti berhembus lebih kencang ketika kondisi kita di puncak. Agar bisa bertahan bahkan maju terus walaupun terpaan angin begitu besar, maka kita harus berjalan sambil membungkuk. Semakin kencang anginnya, berarti badan kita semakin membungkuk bahkan merayap. Semoga Allah senantiasa menghiasi diri kita dengan sifat rendah hati, amin... Daftar Pustaka : * ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006 * Az-Zarnuji, asy-Syaikh, “Ta‘lîm al-Muta‘allim” * I. Solihin, Drs, “Terjemah Nashaihul Ibad (karya Imam Nawawi al-Bantani)”, Pustaka Amani Jakarta, Cetakan ke-3 1427H/2006 * Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam” #Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…# |
Direct link: https://paste.plurk.com/show/720133