1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
IF
--

“Bongsor! Aku minta imbalanku.” Thorfinn menghardik kasar laki-laki tua sebesar beruang di depannya.

Thorkell yang sedang menenggak arak menengok dengan malas ke lawan bicaranya. “imbalan? Maksudmu kuda? Bukankah kau dan Askeladd akan ikut kami ke Gainsborough bersama pangeran?” kata lelaki besar itu.

“ikut ke Gainsborough itu soal lain, tepati janjimu soal memberikanku seekor kuda kalau aku menang duel.”

“cih, ternyata kau ingat juga”

.

.

Thorfinn menatap kosong kereta kuda di depannya. “dia tadi disini” batinnya.

Setelah susah payah menarik tali kekang kuda yang baru ia dapatkan dari Thorkell, tenaganya sudah terkuras seluruhnya. Duel barusan, juga pelarian menegangkan dan hari-hari tanpa tidur telah membabat habis daya hidupnya.

Thorfinn menunggu cukup lama di dekat kereta kuda, ia tahu laki-laki yang ia tunggu pasti akan Kembali ke sini, karena di kereta kuda itu terbaring Bjorn yang terpejam menahan sakit. Ia adalah alasan mengapa Thorfinn tidak bisa begitu saja meninggalkan rombongan Canute. Bjorn akan mendapatkan perawatan yang mumpuni di Gainsborough. Itu janji sang pangeran. Lagipula tidak mungkin mereka membawa orang cedera parah tanpa harus merebut kereta kuda milik Thorkell.

.

.

“Thorfinn”

“Lama sekali, botak. kemana saja kau dari tadi?” Thorfinn mendongak menatap laki-laki yang baru saja tiba di hadapannya, Askeladd menatap bocah itu, kedatangannya disusul Atli yang membawa beberapa barang untuk ditaruh di kereta kuda. Rupanya barang-barang itu berasal dari kru yang terbunuh, Askeladd ingin menjual barang-barang tersebut sesaimpainya di Gainsborough, untuk modal melanjutkan hidup tanpa perlu bertarung untuk sementara waktu sampai luka mereka pulih, katanya.

“Keretanya jadi penuh, sepertinya kau dan aku mustahil mendapatkan kursi”

Thorfinn hanya diam dan mengambil tali kekang kuda yang ia sangkutkan di sisi kereta kuda.

“naiklah, botak, kakimu sakit ‘kan?”



Sehebat apapun Askeladd memperhitungkan, selalu ada hal-hal yang muncul di luar dugaan, bocah itu dan tingkahnya salah satunya. Melihat tatapan yakin dari mata cokelat itu, Askeladd tidak ingin mengajukan pertanyaan-pertanyaan praktis atau mengajaknya kelahi dengan mengejeknya hari itu.

Ia segera mengambil tali kekang kuda dan naik dengan kakinya kirinya. Thorfinn dengan barang-barang bawaannya sudah siap untuk melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki.



“naiklah Thorfinn.”

“ha?” Thorfinn mengangkat dagu, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tidak ada dalam kamus 11 tahunnya, Askeladd berbaik hati sampai menawarkan boncengan kuda. “kapan-kapan saja, Botak” jawab anak itu.

“Tidak ada ‘kapan-kapan’, aku tahu kau kelelahan setelah berduel melawan beruang itu, tanganmu juga patah, anggaplah ini imbalan karena telah menyelamatkan nyawaku.”

“…”

Thorfinn terdiam, di saat seperti ini sangat ingin ia menyanggah seperti saat pagi buta di pinggir kota Bath dulu, tapi entah kenapa tidak ada kata yang keluar. Di belakang pelana bocah itu mendudukkan dirinya, punggung lebar di hadapannya memunculkan geletar dalam dadanya,

“syukurlah kau masih hidup” ucapnya dalam hati.



Perjalanan mereka menjemput nasib di Gainsborough dimulai hari itu.





Tamat.